Beduk bagi saya adalah
benda yang memiliki nilai sakral. Dikampung saya, beduk hanya dibunyikan pada
saat-saat penting. Hari kamis sore,
beduk dibunyikan sebagai penanda bahwa nanti malamnya adalah malam jum’at dan
besok akan ada kewajiban shalat jumat. Dulunya beduk juga biasa dibunyikan
sebagai penanda tibanya waktu shalat. Bunyi pukulan beduk akan disesuaikan
dengan jumlah rakaat shalat yang akan tiba waktunya. Ketika waktu shalat subuh
tiba, maka beduk akan berbunyi dua kali, ketika
waktu shalat Zuhur dan Ashar tiba maka
beduk akan dipukul sebanyak 4 kali, begitu seterusnya. Saat alat
pengeras suara hadir, beduk diganti. Gema Azan yang kencang lewat corong masjid
sudah menggantikan fungsi beduk sebagai penanda tibanya waktu shalat. Hanya
sesekali saja beduk menggantikan corong masjid, yaitu pada saat aliran listrik
kebetulan padam. Saat padam pun, listrik digantikan mesin genset.
Sewaktu kecil, saya
sering menonton anak-anak remaja yang memainkan beduk terutama saat esoknya
akan ada lebaran atau hari raya. Karena masih anak-anak, tentu belum boleh ikut
menjadi pemukul beduk. Para remaja menjadi penguasa beduk. Hanya ketika mereka
sudah bosan, barulah giliran kami anak-anak diberikan memukul beduk sepuasnya. Demikian
pula dengan kegiatan lain. Anak-anak tidak boleh ikut pawai takbir berkeliling
menggunakan truk. Padahal kegiatan macam itulah yang paling diinginkan. Saya
pernah nekat memanjat truk dan bersembunyi di antara kaki-kaki para remaja yang
ikut pawai takbiran menggunakan truk. Sebelum mobil berjalan, saya tidak berani
mengeluarkan kepala. Salah seorang diantara remaja memang menyembunyikan saya
diantara kakinya. Dalam perjalanan, tak henti-hentinya seisi mobil menggemakan
takbir. Karena masih kecil, saya hanya bisa mengintip lewat celah-celah truk.
Tidak tahu kemana mobil itu bergerak. Saya hanya bisa mendengar, bahwa mobil
kami juga berpapasan dengan mobil-mobil lain yang juga membawa jama’ah yang
sedang bertakbir. Hingga kami tiba disebuah lapangan, yang belakangan saya tahu
bahwa lapangan tersebut adalah lapangan Umum Mataram. Di lapangan itu telah
berkumpul banyak sekali mobil-mobil lain.
Saat ini tak banyak
rombongan orang bertakbir di atas kendaraan. Jalanan lebih banyak dilewati oleh
mereka yang mengikuti pawai takbir secara berkelompok dengan membawa lampion
masjid. (wan)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar