Selasa, 21 Agustus 2012

Beduk dan Malam Takbiran


Beduk bagi saya adalah benda yang memiliki nilai sakral. Dikampung saya, beduk hanya dibunyikan pada saat-saat penting.  Hari kamis sore, beduk dibunyikan sebagai penanda bahwa nanti malamnya adalah malam jum’at dan besok akan ada kewajiban shalat jumat. Dulunya beduk juga biasa dibunyikan sebagai penanda tibanya waktu shalat. Bunyi pukulan beduk akan disesuaikan dengan jumlah rakaat shalat yang akan tiba waktunya. Ketika waktu shalat subuh tiba, maka beduk akan berbunyi dua kali, ketika  waktu shalat Zuhur  dan Ashar  tiba maka  beduk akan dipukul sebanyak 4 kali, begitu seterusnya. Saat alat pengeras suara hadir, beduk diganti. Gema Azan yang kencang lewat corong masjid sudah menggantikan fungsi beduk sebagai penanda tibanya waktu shalat. Hanya sesekali saja beduk menggantikan corong masjid, yaitu pada saat aliran listrik kebetulan padam. Saat padam pun, listrik digantikan mesin genset.       
Sewaktu kecil, saya sering menonton anak-anak remaja yang memainkan beduk terutama saat esoknya akan ada lebaran atau hari raya. Karena masih anak-anak, tentu belum boleh ikut menjadi pemukul beduk. Para remaja menjadi penguasa beduk. Hanya ketika mereka sudah bosan, barulah giliran kami anak-anak diberikan memukul beduk sepuasnya. Demikian pula dengan kegiatan lain. Anak-anak tidak boleh ikut pawai takbir berkeliling menggunakan truk. Padahal kegiatan macam itulah yang paling diinginkan. Saya pernah nekat memanjat truk dan bersembunyi di antara kaki-kaki para remaja yang ikut pawai takbiran menggunakan truk. Sebelum mobil berjalan, saya tidak berani mengeluarkan kepala. Salah seorang diantara remaja memang menyembunyikan saya diantara kakinya. Dalam perjalanan, tak henti-hentinya seisi mobil menggemakan takbir. Karena masih kecil, saya hanya bisa mengintip lewat celah-celah truk. Tidak tahu kemana mobil itu bergerak. Saya hanya bisa mendengar, bahwa mobil kami juga berpapasan dengan mobil-mobil lain yang juga membawa jama’ah yang sedang bertakbir. Hingga kami tiba disebuah lapangan, yang belakangan saya tahu bahwa lapangan tersebut adalah lapangan Umum Mataram. Di lapangan itu telah berkumpul banyak sekali mobil-mobil lain. 
Saat ini tak banyak rombongan orang bertakbir di atas kendaraan. Jalanan lebih banyak dilewati oleh mereka yang mengikuti pawai takbir secara berkelompok dengan membawa lampion masjid. (wan)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar