Minggu kemaren 15 juli, jalan Prabu Rangkasari macet. Belasan gadis manis usia ABG, tiba-tiba datang dan ikut membaur ditengah para pemuda yang berjingkrak-jingkrak. Para pemuda ini seperti kesetanan, mengikuti irama sound system yang memekakkan telinga. Tanpa canggung, para gadis ABG yag mengenakan stelan hitam-hitam juga ikut larut menari-menyanyi dengan teriakan yang timbul tengelam oleh suara music. Dari arah belakangnya, barisan pemain ale-ale, yang memukul-mukul alat music melantunkan lagu-lagu regae , rock dan dangdut.
Mereka yang berjingkrak-jingkrak di bahu jalan tersebut, tengah mengikuti prosesi adat nyongkolan. Prosesi adat yang mestinya dilakoni dengan aksesoris dan perangkat adat yang lebih pantas, bukan dengan pakian mini dan tari-tarian yang kelewat heboh. Namun hari itu sungguh saya menyaksikan sebuah prosesi adat yang membingungkan. Pakaian para pengiring sang pengantin sangat amat jauh dari kepatutan adat yang biasa kita lihat. Yang perempuan mengenakan celana jeans pendek, ditutupi kain sarung hitam, para lelaki juga tak kalah anehnya. Apakah model pakian adat sudah dianggap kurang pas dan praktis oleh kaum muda, ataukan mereka memang tak tahu bagaimana pakian adat yang sebenarnya. Sulit di tebak. Hanya mereka yang tahu. Music pengiring pun juga demikian, dari music tradisional, yang mirip dengan peralatan music tradisi di Bali dan Jawa, kini bergeser menggunakan alat-alat music modern, memakai Salon berukuran raksasa, gitar elektrik dan keyboard.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar