LOMBOK UTARA -- Hartu, pemuda di Dusun Karang
Kendal Desa Genggelang Kecamatan Gangga Kabupaten Lombok Utara (KLU) adalah
contoh sukses peternak. Berkat sapi, pemuda itu mampu menyelesaikan kuliahnya.
Kini dia sudah menyandang gelar Sarjana Pendidikan (S.Pd).
‘’Saya
baru-baru ini jual satu ekor, untuk menyelesaikan kuliah,’’ katanya saat
ditemui di kadang kolektif milik kelompok Ngiring Datu di Dusun Karang Kendal
Desa Genggelang Kecamatan Gangga, beberapa waktu lalu.
Sebelum ikut dalam kelompok Ngiring Datu, Hartu memelihara
di rumah. Tapi setelah kelompok terbentuk tahun 2010 silam,dia bergabung di
kelompok itu. Kelompok membuat kandang kolektif, bantuan pun mengalir ke
kelompok. Pemerintah, melalui program Bumi Sejuta Sapi (BSS) memberikan bantuan
pejantan, dan fasilitas kandang kolektif.
‘’Sekarang jumlah sapi disini 264 ekor,’’ kata
Sekretaris Kelompok Ngiring Datu Purdah.
Anggota kelompok Ngiring Datu rata-rata memiliki
tiga ekor sapi. Untuk sapi jantan dengan berat 300 kg, harganya Rp 10 juta.
Purdah sendiri memiliki sapi jantan yang kemungkinan beratnya lebih dari 300
kg. Sapi jantan dijual menjelang tahun ajaran baru sekolah.
‘’Untuk persiapan biaya sekolah,’’ katanya.
Peternak lainnya Sugawati juga bersiap-siap untuk
melepas sapi miliknya. Dia akan menjual seekor sapi jantan. Sapi yang akan
dijual itu disiapkan untuk membiayai anaknya yang kini kuliah di Universitas
Mataram dan Universitas Muhammadiyah Mataram (UMM). Anaknya yang kuliah di
Unram dikuliahkan di Fakultas Peternakan, dengan harapan kelak bisa menjadi
peternak yang lebih handal.
‘’Kalau tidak ada sapi ini, tidak bisa kami
membiayai kuliah,’’ katanya.
Pengalaman serupa juga dirasakan Artahap, ketua
kelomp0k ternak Patuh Angen Dusun Karang Tal Desa Kayangan Kecamatan Kayangan.
Sapi menjadi tabungan pendidikan bagi putra putrinya.
‘’Saya tidak khawatir biaya sekolah sekarang, kalau
butuh biaya besar tinggal jual satu sapi,’’ katanya.
Artahap yang memiliki anak kuliah di Unram pada
jurusan Peternakan menghitung, satu sapi bisa membiayai satu anak kuliah selama
setahun. Untuk sapi jenis tertentu seperti Simental, satu ekor bisa dilepas Rp
17 juta.
Kelompok Patuh Angen didirikan pada tahun 2009 saat
program BSS kali pertama turun di KLU. Sebelum program BSS para peternak
memelihara sendiri, tidak ada pengawasan, dan sangat kurang pembinaan. Apalagi
bantuan, hampir tidak pernah tersentuh bantuan.
Saat awal membentuk kelompok, jumlah sapi hanya 30
ekor. Kini jumlah sapi di kelompok 140 ekor. Selama program BSS berjalan,
kelompok diguyur bantuan. Akhirnya para peternak yang awalnya sendiri-sendiri
membentuk kelompok.
Artahap telah membuktikan itu. Kini jumlah sapi
miliknya 20 ekor. Banyak sapi pejantan yang dilego dengan harga Rp 10 juta ke
atas. Tabungan keluarga ada di dalam sapi itu. Setiap kebutuhan besar, khususnya
pendidikan satu ekor sapi dijual.
Menurut Artahap, dari sekian banyak program
pemerintah, BSS ini paling dirasakan mendongkrak perekonomian masyarakat.
Bantuan bibit sapi yang diberikan pada masyarakat berarti membebaskan
masyarakat dari pengangguran. Anak-anak muda yang sebelumnya menganggur, kini
punya kegiatan beternak. Tabungan mereka sudah tergambar di sapi yang dimiliki.
‘’Program
BSS ini adalah program yang sangat berpihak pada masyarakat kecil. Program ini
harus dilanjutkan. Saya sendiri sudah merasakan manfaatnya, anak saya bisa
kuliah berkat sapi,’’ tegas Artahap.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar