Tuaq Ma’ah namanya. Pekerjaannya
tidak tetap. Kadang ia dipanggil untuk menurunkan gabah atau beras di salah satu distributor beras di wilayah Cakranegara. Ia juga kerap membantu mengangkut
tanah di tempat orang memproduksi bata
dan genteng. Orangnya kurus dan terkesan
kurang makan. Ia lebih sering merokok dan minum kopi. Di lilitan sarungya
selalu ada tembakau dan kertas rokok, yang sesekali ia buka saat istirahat
bekerja. Pekerjaannya yang serabutan, membuatny harus bangun lebih awal.
Setelah shalat subuh dan matahari belum terlihat, kadanh ia sudah harus
meluncur di atas aspal menggunakan sepeda ontel dari Bagek Polak menuju
Mataram.
Suatu hari ia harus bangun dan
berangkat lebih awal karena harus menurunkan gabah di tempat ia bekerja. Saat
sedang asyik mengayuh sepeda, tiba-tiba melesatlah sebuah mobil di sampingnya.
Saking kencangnya mobil berlari, sang sopir tidak menyadari gabah yang ia muat
jatuh di samping Tuaq Ma’ah. Lalu lelaki
kurus itu menarik gabah itu ke pinggir jalan. Dalam benaknya, ia merasa kasihan
kepada sopir yang ngebut tadi. Ia menunggu cukup lama, sampai akhirnya seorang
pemotong kayu lewat. Saat sang pemotong kayu tengah asik mengayuh sepedanya, Tuaq
Ma’ah melambai-lambaikan tangan menyetop.
Ia lalu menceritakan asal-muasal sekarung gabah tersebut.
“ Dari tadi saya menunggu sang
sopir, tapi tidak muncul-muncul. Saya serahkan sekarung gabah ini kepada anda,
silahkan mau dibawa pulang atau menunggu sopir itu balik terserah. Saya harus
cepat-cepat ke tempat kerja.” Kata Tuaq Ma’ah kepada pemotong kayu. Dengan
wajah gembira, sekarung gabah itu pun dibawa pulang olehnya. Dan Tuaq Ma’ah
melanjutkan perjalanan dengan tanpa beban. Ia memang tak mau mengambil hak
orang lain.
Ayah saya berkisah tentang tuaq Ma’ah.
Suatu saat, ia diminta melakukan pembersihan di salah satu lokasi rumah tua
oleh bos tempat ia bekerja. Dengan cekatan ia mengerjakan tugas yang diberikan.
Tiba-tiba di salah satu sudut rumah tersebut, ia menemukan dua karung beras
uang logam. Sikap jujur yang memang tertanam di dalam jiwanya mulai bereaksi. Ia
bergegas pergi ke rumah orang yang menugasinya membersihan rumah. Setelah
sampai di tempat tujuan, kepada sang Bos Ia jelaskan tentang temuannya di rumah yang
sedang dibersihkan. Sang Bos tersenyum dan menyuruhnya mengambil semua yang ia
temukan. Bukannya senang, ia malah menolak. Akhirnya sang bos mengajaknya ke
Bank dan menukar uang logam tersebut dengan uang kertas. Lalu ia menyerahkan
semua hasil penukaran uang tersebut.
“ Semua uang ini bapak yang temukan, maka uang ini adalah
hak bapak. Silahkan di bawa pulang, terserah mau di ambil atau dikasikan ke
orang lain” kata sang Bos. Menurut orang ayah saya sebagai sumber cerita, tuaq
Ma’ah membagi-bagikan uang tersebut kepada anak-anak dirumah saya. Cerita ini
terjadi sekitar awal tahun 1979. Konon saya juga mendapat bagian.
Satu lagi contoh kejujuran Tuaq Ma’ah, saat musim haji tiba, ia dan keluarganya pergi mengantar
jamaah ke bandara Selaparang. Di antara keramaian, kakinya tersandung sebuah
tas. Tas tersebut cukup berat. Ia penasaran. Dengan jari kakinya ia coba
mengangkat tas tersebut. Ternyata cukup berat. Lalu ia intip isinya. Uang. Ia berdiri
terpaku disamping tas berisi uang yang cukup banyak. Ia tak mau mengambilnya. Tapi dengan cara apa
ia harus mengembalikan uang tersebut kepada pemiliknya. Saat ia tengah
memikirkan cara untuk mengembalikan uang tersebut, rupanya ada orang lain yang
juga melihat uang tersebut. Belum selesai ia berfikir, tiba-tiba datanglah
orang lain yang langsung duduk dan menutupi uang tersebut dengan sarung yang
dikenakan. Lalu orang itu berlalu sambil membawa tas berisi uang tersebut. (wan)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar