Senin, 02 September 2013

Buruh kasar yang berjiwa lembut



Tuaq Ma’ah namanya. Pekerjaannya tidak tetap. Kadang ia dipanggil untuk menurunkan gabah atau beras  di salah satu distributor beras di wilayah  Cakranegara. Ia juga kerap membantu mengangkut tanah di tempat orang  memproduksi bata dan genteng. Orangnya kurus  dan terkesan kurang makan. Ia lebih sering merokok dan minum kopi. Di lilitan sarungya selalu ada tembakau dan kertas rokok, yang sesekali ia buka saat istirahat bekerja. Pekerjaannya yang serabutan, membuatny harus bangun lebih awal. Setelah shalat subuh dan matahari belum terlihat, kadanh ia sudah harus meluncur di atas aspal menggunakan sepeda ontel dari Bagek Polak menuju Mataram.
Suatu hari ia harus bangun dan berangkat lebih awal karena harus menurunkan gabah di tempat ia bekerja. Saat sedang asyik mengayuh sepeda, tiba-tiba melesatlah sebuah mobil di sampingnya. Saking kencangnya mobil berlari, sang sopir tidak menyadari gabah yang ia muat jatuh di samping Tuaq Ma’ah. Lalu  lelaki kurus itu menarik gabah itu ke pinggir jalan. Dalam benaknya, ia merasa kasihan kepada sopir yang ngebut tadi. Ia menunggu cukup lama, sampai akhirnya seorang pemotong kayu lewat. Saat sang pemotong kayu tengah asik mengayuh sepedanya, Tuaq Ma’ah melambai-lambaikan tangan menyetop.  Ia lalu menceritakan asal-muasal sekarung gabah tersebut.
“ Dari tadi saya menunggu sang sopir, tapi tidak muncul-muncul. Saya serahkan sekarung gabah ini kepada anda, silahkan mau dibawa pulang atau menunggu sopir itu balik terserah. Saya harus cepat-cepat ke tempat kerja.” Kata Tuaq Ma’ah kepada pemotong kayu. Dengan wajah gembira, sekarung gabah itu pun dibawa pulang olehnya. Dan Tuaq Ma’ah melanjutkan perjalanan dengan tanpa beban. Ia memang tak mau mengambil hak orang lain.
Ayah saya berkisah tentang tuaq Ma’ah. Suatu saat, ia diminta melakukan pembersihan di salah satu lokasi rumah tua oleh bos tempat ia bekerja. Dengan cekatan ia mengerjakan tugas yang diberikan. Tiba-tiba di salah satu sudut rumah tersebut, ia menemukan dua karung beras uang logam. Sikap jujur yang memang tertanam di dalam jiwanya mulai bereaksi. Ia bergegas pergi ke rumah orang yang menugasinya membersihan rumah. Setelah sampai di tempat tujuan, kepada sang Bos  Ia jelaskan tentang temuannya di rumah yang sedang dibersihkan. Sang Bos tersenyum dan menyuruhnya mengambil semua yang ia temukan. Bukannya senang, ia malah menolak. Akhirnya sang bos mengajaknya ke Bank dan menukar uang logam tersebut dengan uang kertas. Lalu ia menyerahkan semua hasil penukaran uang tersebut.
“ Semua uang ini bapak yang temukan, maka uang ini adalah hak bapak. Silahkan di bawa pulang, terserah mau di ambil atau dikasikan ke orang lain” kata sang Bos. Menurut orang ayah saya sebagai sumber cerita, tuaq Ma’ah membagi-bagikan uang tersebut kepada anak-anak dirumah saya. Cerita ini terjadi sekitar awal tahun 1979. Konon saya juga mendapat bagian.
Satu lagi contoh kejujuran Tuaq Ma’ah, saat musim haji  tiba, ia dan keluarganya pergi mengantar jamaah ke bandara Selaparang. Di antara keramaian, kakinya tersandung sebuah tas. Tas tersebut cukup berat. Ia penasaran. Dengan jari kakinya ia coba mengangkat tas tersebut. Ternyata cukup berat. Lalu ia intip isinya. Uang. Ia berdiri terpaku disamping tas berisi uang yang cukup banyak.  Ia tak mau mengambilnya. Tapi dengan cara apa ia harus mengembalikan uang tersebut kepada pemiliknya. Saat ia tengah memikirkan cara untuk mengembalikan uang tersebut, rupanya ada orang lain yang juga melihat uang tersebut. Belum selesai ia berfikir, tiba-tiba datanglah orang lain yang langsung duduk dan menutupi uang tersebut dengan sarung yang dikenakan. Lalu orang itu berlalu sambil membawa tas berisi uang tersebut. (wan)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar