Jumat, 05 Juli 2013

“BaLSem” hangatnya sesaat



KM. Abiantubuh. Karena saya bukan penerima BLSM atau Balsem, maka saya tidak ikut merasakan “ kehangatan” program tersebut.  Tapi di sekeliling saya, kesibukan menyambut kucuran uang sinterklas itu bisa dibilang heboh. Para ibu-ibu lansia yang tak pernah keluar rumah, harus ikut-ikutan mendatangi kantor lurah mengurus surat-surat agar mereka gampang  menerima bantuan. Euphoria penerimaan BLSM saat ini, menjadi pemberitaan media massa. Muncullah berbagai gambar yang membuat hati kecil kita miris. Ibu-ibu yang terinjak, bayi-bayi yang terjepit atau kakek-kakek yang seharsnya istirahat terlihat dipapah karena harus mengambil sendiri Balsemnya.  Gambar-gambar tersebut diperontonkan televisi  lokal maupun nasional, bahkan mungkin  internasional. Sampai hari ini, niat baik pemerintah membagi uang secara langsung kepada rakyat katagori miskin, masih di liputi persoalan. Mulai data yang tidak di update, salah sasaran, hingga semerawutnya proses penyaluran membuat masyarakat protes.
Soal data yang tidak valid misalnya, perkara data idealnya selalu diupdate setiap saat. Peubahan jumlah penduduk, prilaku, daur hidup masyarakat membuat data apapun tentang kependudukan bisa berubah tidak menunggu tahun. Itulah sebabnya data miskin tahun ini, bisa berubah tahun depan. Tidak aneh kalau kemudian kita menemukan para penerima Balsem berpakaian layaknya orang kaya, memakai perhiasan mahal, Smartphone keluaran terbaru, atau aksesoris menunjukkan bahwa dia tidak miskin. Di lain pihak mereka yang tidak menerima Balsem, kondisinya sangat memprihatinkan. Kecanggihan alat komunikasi dan informasi saat ini, mestinya mempermudah perolehan data terbaru dari masyarakat. Handphone murah pun saat ini sudah dilengkapi aplikasi-aplikasi yang dulunya tidak mungkin. Ini peluang pendataan yang bisa dimanfaatkan pemerintah untuk bisa mendapatkan data yang update.  Kesalahan data menjadi akar persoalan baru di tingkat masyarakat. Mereka yang cemburu karena tidak mendapatkan bantuan, padahal secara kriteria sangat layak, melakukan protes. Protes dilakukan mulai dari pemerintah  tingkat yang paling dekat dengan dirinya yaitu RT dan dusun atau lingkungan. Banyak aparat di tingkat bawah menjadi korban tindakan anarkis mereka yang cemburu.

Berikutnya soal salah sasaran. Ada satu penyakit baru yang tumbuh di tengah-tengah masyarakat kita. Penyakit baru itu bernama “demam gratis”. Saya tidak tahu apakah penyakit demam gratis ini merupakan imbas dari banyaknya reklame produk yang menawarkan berbagai fasilitas gratis kepada konsumen atau apa. Yang pasti hari ini masyarakat menjadi sangat gemar kepada yang gratis-gratis. Anehnya para calon pimpinan daerah atau partai politik juga ikut-ikutan menawarkan seba gratis kepada konstituennya. Kalau provider menawarkan nelpon dan sms garis, para calon kepala daerah dan partai politik juga berlomba-lomba mengumbar janji gratis. Sekolah gratislah, berobat gratis, sampai soal yang agak aneh menurut saya yaitu pajak gratis. Demam gratis ini, membuat masyarakat memburu semua yang gratis. Demi mendapatkan serba gratis masyarakat pun berbondong-bondong mendaftarkan dirinya sebagai warga miskin.  Apalagi yang melakukan pendataan masih ada hubungan kerabat, maka sang pendaftar akan mudah lolos meskipun tidak termasuk dalam kriteria miskin. Harus ada cara agar kesalahan pada proses pendataan ini bisa dikurangi.
Kita cenderung melupakan hal-hal sepele, yang pada gilirannya menjadi masalah besar. Persoalan antri misalnya. Antri adalah masalah kecil namun tidak bisa dibiarkan begitu saja. Budaya antri harus didikkan kepada anak-anak mulai dari sejak dia Taman Kanak-Kanak agar ia tidak seperti orang-orang tuanya. Lihatlah saat ini, hanya karena kita tidak bisa antri, nyawa pun melayang sia-sia. Selama ini kita tidak memiliki budaya antri. Berdesak-desakan tanpa memperdulikan anak kecil, para lansia, atau orang hamil menjadi pemandangan yang biasa. Saat  mereka beli tiket pertunjukan. Saat  mereka mengantre bensin yang mulai langka. Dan sebentar lagi kita akan menyaksikan antrean pembagian sedekah saat lebaran, Dan susahnya budaya itu  di bawa kemana pun kita pergi. Lihat bagaimana anak-anak bangsa ini mengantre di Arab Saudi atau atau di Negara lain. Mereka menjadi masalah Negara lain karena membawa kebudayannya.  Kita sudah merdeka lebih dari setengah abad, namun tradisi antri saja kita tidak miliki. Tingkat disiplin kita masih sangat rendah. Orang sudah sampai di luar angkasa. Kita masih belajar antri. Dan di televisi itu menjadi tontonan setiap hari
 Saya pribadi mendukung pengurangan subsisi, tapi tidak setuju masyarakat diberikan Balsem. Karena Balsem itu hangatnya cuma sebentar. Ukuran harga-harga sekarang ini duit sebanyak itu akan cepat habis. Dana bantuan sebanyak itu bisa menjadi semacam saham bagi masyarakat miskin untuk mendirikan usaha.(wan)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar