Soal data yang tidak valid
misalnya, perkara data idealnya selalu diupdate setiap saat. Peubahan jumlah
penduduk, prilaku, daur hidup masyarakat membuat data apapun tentang
kependudukan bisa berubah tidak menunggu tahun. Itulah sebabnya data miskin
tahun ini, bisa berubah tahun depan. Tidak aneh kalau kemudian kita menemukan
para penerima Balsem berpakaian layaknya orang kaya, memakai perhiasan mahal, Smartphone
keluaran terbaru, atau aksesoris menunjukkan bahwa dia tidak miskin. Di lain
pihak mereka yang tidak menerima Balsem, kondisinya sangat memprihatinkan. Kecanggihan
alat komunikasi dan informasi saat ini, mestinya mempermudah perolehan data
terbaru dari masyarakat. Handphone murah pun saat ini sudah dilengkapi
aplikasi-aplikasi yang dulunya tidak mungkin. Ini peluang pendataan yang bisa
dimanfaatkan pemerintah untuk bisa mendapatkan data yang update. Kesalahan data menjadi akar persoalan baru di
tingkat masyarakat. Mereka yang cemburu karena tidak mendapatkan bantuan,
padahal secara kriteria sangat layak, melakukan protes. Protes dilakukan mulai
dari pemerintah tingkat yang paling
dekat dengan dirinya yaitu RT dan dusun atau lingkungan. Banyak aparat di
tingkat bawah menjadi korban tindakan anarkis mereka yang cemburu.
Berikutnya soal salah sasaran.
Ada satu penyakit baru yang tumbuh di tengah-tengah masyarakat kita. Penyakit
baru itu bernama “demam gratis”. Saya tidak tahu apakah penyakit demam gratis
ini merupakan imbas dari banyaknya reklame produk yang menawarkan berbagai
fasilitas gratis kepada konsumen atau apa. Yang pasti hari ini masyarakat
menjadi sangat gemar kepada yang gratis-gratis. Anehnya para calon pimpinan
daerah atau partai politik juga ikut-ikutan menawarkan seba gratis kepada
konstituennya. Kalau provider menawarkan nelpon dan sms garis, para calon
kepala daerah dan partai politik juga berlomba-lomba mengumbar janji gratis.
Sekolah gratislah, berobat gratis, sampai soal yang agak aneh menurut saya
yaitu pajak gratis. Demam gratis ini, membuat masyarakat memburu semua yang
gratis. Demi mendapatkan serba gratis masyarakat pun berbondong-bondong
mendaftarkan dirinya sebagai warga miskin.
Apalagi yang melakukan pendataan masih ada hubungan kerabat, maka sang
pendaftar akan mudah lolos meskipun tidak termasuk dalam kriteria miskin. Harus
ada cara agar kesalahan pada proses pendataan ini bisa dikurangi.
Kita cenderung melupakan hal-hal
sepele, yang pada gilirannya menjadi masalah besar. Persoalan antri misalnya.
Antri adalah masalah kecil namun tidak bisa dibiarkan begitu saja. Budaya antri
harus didikkan kepada anak-anak mulai dari sejak dia Taman Kanak-Kanak agar ia
tidak seperti orang-orang tuanya. Lihatlah saat ini, hanya karena kita tidak
bisa antri, nyawa pun melayang sia-sia. Selama ini kita tidak memiliki budaya
antri. Berdesak-desakan tanpa memperdulikan anak kecil, para lansia, atau orang
hamil menjadi pemandangan yang biasa. Saat
mereka beli tiket pertunjukan. Saat
mereka mengantre bensin yang mulai langka. Dan sebentar lagi kita akan
menyaksikan antrean pembagian sedekah saat lebaran, Dan susahnya budaya itu di bawa kemana pun kita pergi. Lihat bagaimana
anak-anak bangsa ini mengantre di Arab Saudi atau atau di Negara lain. Mereka
menjadi masalah Negara lain karena membawa kebudayannya. Kita sudah merdeka lebih dari setengah abad,
namun tradisi antri saja kita tidak miliki. Tingkat disiplin kita masih sangat
rendah. Orang sudah sampai di luar angkasa. Kita masih belajar antri. Dan di
televisi itu menjadi tontonan setiap hari
Saya pribadi mendukung pengurangan subsisi,
tapi tidak setuju masyarakat diberikan Balsem. Karena Balsem itu hangatnya cuma
sebentar. Ukuran harga-harga sekarang ini duit sebanyak itu akan cepat habis.
Dana bantuan sebanyak itu bisa menjadi semacam saham bagi masyarakat miskin
untuk mendirikan usaha.(wan)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar