Pagi belum
terang benar. Sang raja siang, seperti enggan menampakkan diri, namun tebaran
mega telah lebih dulu muncul sebagai penanda hari telah dimulai. Saat bangun
tidur, Amaq Rahma tampak terkejut.
Sebuah stiker besar berwarna putih bertulisakan “KELUARGA MISKIN” tetrtempel di
pintu rumahnya. Ia mengomel sambil merobek-robek stiker tersebut.
“ Masih ada orang lain yang lebih layak dikatakan
miskin di kampung ini. Kenapa orang yang benar-benar miskin justru tidak
dicatat. Kenapa kepala lingkungan tidak mencatat nama papuk-papuk yang memang benar-benar miskin itu. Ini yang menyebabkan
bantuan pemerintah salah sasaran,” kata
lelaki dua anak itu sambil membasahi stiker yang menempel di pintu rumanya dengan air. Setelah stiker itu basah, ia lalu mengosok-gosoknya dengan pisau kecil secara pelahan. Namun rupanya
stiker itu agak bandel. Upayanya tidak cukup berhasil. Meskipun kertasnya sudah
besih, lem yang menempel di kertas stiker itu sangat kuat menempel di pintunya.
Lem itu akhirnya bisa sedikit hilang setelah ia menggunakan sikat cuci untuk
menggosoknya. Stiker berukuran sekitar 30 x 20 centimeter itu memang tampak mencolok.
Bisa jadi stiker ini sengaja dibuat besar agar mereka yang masih memiliki rasa
malu dikatakan miskin menjadi risih, manakala tembok atau pintunya ditempeli stiker tersebut.
Amaq Rahma
mungkin merasa risih dengan stiker penanda keluarga miskin tersebut. Pagi-pagi
benar ia sudah marah-marah karena kesal.
Sebagai keluarga muda, ia bakal ditertawai teman-temannya yang datang bertamu
jika stiker itu masih menempel di pintu rumahnya. Sebetulnya Amaq Rahma, masih tergolong
keluarga miskin jika mengacu kriteria BPS. Ia hanya memiliki ijazah Madrasah
Ibtidakyah. Rumah yang ia tinggali berada di tanah milik keluarga besar. Sehari-hari
ia bekerja di salah satu bengkel motor. Meski bekerja di bengkel motor, Amaq
Rahma bukan tipikal manusia yang gampang menyerah. Saat usianya belum 18 tahun,
ia merengek-rengek minta dicarikan uang untuk ikut bekerja di Malayisa. Karena orang
tuanya tak punya uang, biaya keberangkatannya didapat dari berhutang. Di negeri
“ Ipin dan Upin” itu dia tidak ikut
berfoya-foya seperti kebanyakan para perantau muda dari Lombok. Kadang ia
lembur hingga malam tiba, agar bisa mengirim uang ke kampung halaman. Dari kerja
keras itulah ia bisa membawa pulang sejumlah uang, untuk membantu ayahnya
membangun rumah tinggal.
Sikap Amaq Rahma patut ditiru. Saat
ini, tak banyak keluarga yang memiliki mental seperti dirinya. Meski tergolong
keluarga yang tidak berkecukupan, ia pantang disebut miskin. Tercatat sebagai keluarga miskin adalah
harapan banyak keluarga. Karena dengan begitu mereka bisa terbebas dari biaya
berobat, biaya sekolah dan banyak keistimewaan lain yang bisa didapat tanpa
harus bekerja keras dan berfikir. Banyak keluarga yang ngotot dan marah-marah,
namanya tidak termasuk dalam kelompok mereka yang mendapat predikat keluarga
miskin. Menjadi keluarga miskin malu
dikatakan miskin.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar