Rabu, 20 November 2013

Amaq Rahma : Malu dikatakan miskin



Pagi belum terang benar. Sang raja siang, seperti enggan menampakkan diri, namun tebaran mega telah lebih dulu muncul sebagai penanda hari telah dimulai. Saat bangun tidur,  Amaq Rahma tampak terkejut. Sebuah stiker besar berwarna putih bertulisakan “KELUARGA MISKIN” tetrtempel di pintu rumahnya. Ia mengomel sambil merobek-robek stiker tersebut.
 “ Masih ada orang lain yang lebih layak dikatakan miskin di kampung ini. Kenapa orang yang benar-benar miskin justru tidak dicatat. Kenapa kepala lingkungan tidak mencatat nama papuk-papuk yang memang benar-benar miskin itu. Ini yang menyebabkan bantuan pemerintah salah sasaran,”  kata lelaki dua anak itu sambil membasahi stiker yang menempel di pintu rumanya  dengan air. Setelah stiker itu basah,  ia lalu mengosok-gosoknya  dengan pisau kecil secara pelahan. Namun rupanya stiker itu agak bandel. Upayanya tidak cukup berhasil. Meskipun kertasnya sudah besih, lem yang menempel di kertas stiker itu sangat kuat menempel di pintunya. Lem itu akhirnya bisa sedikit hilang setelah ia menggunakan sikat cuci untuk menggosoknya. Stiker berukuran sekitar 30 x 20 centimeter itu memang tampak mencolok. Bisa jadi stiker ini sengaja dibuat besar agar mereka yang masih memiliki rasa malu dikatakan miskin menjadi risih, manakala  tembok atau  pintunya ditempeli stiker tersebut.     
Amaq Rahma mungkin merasa risih dengan stiker penanda keluarga miskin tersebut. Pagi-pagi benar ia sudah  marah-marah karena kesal. Sebagai keluarga muda, ia bakal ditertawai teman-temannya yang datang bertamu jika stiker itu masih menempel di pintu rumahnya.  Sebetulnya Amaq Rahma, masih tergolong keluarga miskin jika mengacu kriteria BPS. Ia hanya memiliki ijazah Madrasah Ibtidakyah. Rumah yang ia tinggali berada di tanah milik keluarga besar. Sehari-hari ia bekerja di salah satu bengkel motor. Meski bekerja di bengkel motor, Amaq Rahma bukan tipikal manusia yang gampang menyerah. Saat usianya belum 18 tahun, ia merengek-rengek minta dicarikan uang untuk ikut bekerja di Malayisa. Karena orang tuanya tak punya uang, biaya keberangkatannya didapat dari berhutang. Di negeri “ Ipin dan Upin”  itu dia tidak ikut berfoya-foya seperti kebanyakan para perantau muda dari Lombok. Kadang ia lembur hingga malam tiba, agar bisa mengirim uang ke kampung halaman. Dari kerja keras itulah ia bisa membawa pulang sejumlah uang, untuk membantu ayahnya membangun rumah tinggal.
                Sikap Amaq Rahma patut ditiru. Saat ini, tak banyak keluarga yang memiliki mental seperti dirinya. Meski tergolong keluarga yang tidak berkecukupan, ia pantang disebut miskin.  Tercatat sebagai keluarga miskin adalah harapan banyak keluarga. Karena dengan begitu mereka bisa terbebas dari biaya berobat, biaya sekolah dan banyak keistimewaan lain yang bisa didapat tanpa harus bekerja keras dan berfikir. Banyak keluarga yang ngotot dan marah-marah, namanya tidak termasuk dalam kelompok mereka yang mendapat predikat keluarga miskin. Menjadi keluarga miskin  malu dikatakan miskin.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar