Ramadhan itu ibarat sebuah sungai
jernih, besar dan panjang, tempat para musfir yang kelelahan mengambil dan meneguk air jernih, lalu
dahaganya hilang seketika. Sungai
Ramadhan tempat musyafir
memandikan jasadnya dari gumpal-gumpal kotoran dan debu, dalam 11 bulan
perjalanannya. Ramadhan menjadi bulan penyeimbang kehidupan manusia. Sel-sel
darah, usus, tulang-tulang, lambung, serta organ tubuh lainnya beristirahat
setelah berbulan-bulan aktif bergerak dan bereproduksi. Ramadhan melatih jiwa
yang liar, menjadi sabar dan tenang. Melatih hati yang pemarah keras dan beku
menjadi lembut, hangat, kaya dan penuh empati. Rasa lapar yang mendera tubuh,
merangsang emosi jiwa terlebur dalam damai yang indah. Setelah Ramadhan manusia bakal
mendapatkan kesucian jiwa dan energy baru, guna melanjutkan perjalanan hingga tiba kembali di Ramadhan berikutnya.
Ramadhan ritual tahunan pengobat dahaga spiritual bumi yang kian
mengkhawatirkan. Setelah ritual puasa terjadi, badan kembali sehat, hati
kembali terupgrade.
Sayang sekali, jauh
hari sebelum hilal Ramadhan bertengger di jendela cakrawala, kita telah
diganggu oleh kreatifitas dan inovasi kapitalisme dengan amat benderang dari layar televisi, media
online,koran, spanduk, baliho, jejaring sosial, dan berbagai media promosi.
Atraksi kapitalisme mencipta karya yang mengesankan sekaligus mengenaskan.
Mengenaskan karena karya seni kapitalisme itu telah mengotori ruang paling suci
dan bertolak seratus delapanpuluh derajat. Areal suci religi dihadapkan dengan
pemuasan hasrat hedon tanpa jeda dan tanpa batas. Lalu saat Ramadhan tiba kekhusyu’an Ramadhan dikotori oleh badut-badut
yang menampilkan ketidak lucuan.
Badut-badut menampar seluruh sudut sakral ramadhan dan kita tak bisa
menghindar. Ia datang saat menjelang imsak, hingga imsak tiba lagi. Seluruh
segmen ibadah dijual, dieksploitasi, dijadikan mesin uang, dijadikan jualan
politik. Murah sekali. Mereka menjual waktu berbuka, menjual saat makan sahur,
menjual khusyuk tarawih dan tadarus. Mereka menciptakan semacam godaan yang
bisa memancing kita yang berpuasa untuk marah, kesal, bergunjing dan bermacam
prilaku kasar yang bisa membuat puasa menjadi batal. Para badut menjadi
setan-setan baru yang memoles wajahnya dengan aplikasi photosop agar lebih
santun, klimis, dan berwibawa. Para badut mengatur suara mengucapkan selamat
dan mendoakan mereka yang berpuasa agar diterima amal ibadahnya. Badut-badut
itu adalah para politisi, para kyai yang menjadi ikon produk kaum kapitalis.
Dalam sebuah forum diskusi di Facebook, seseorang membuat status marah terhadap orang-orang yang “mencari
muka” menjelang adzan magrib dikumandangkan.
Kelakuan para badut menjelang berbuka ini ternyata meresahkan banyak orang.
Mereka merasa terganggu kekhusyu’annya. Ada yang mengatakan bahwa mereka harus
ditindak oleh Majelis Ulama, ada pula yang mengusulkan agar Komisi
Penyiaran membuat aturan yang membatasi
orang-orang yang mencari muka di tengah orang – orang yang mencari Tuhan
itu. Para badut yang “bernafsu” meraih
kekuasaan ini memang tidak pandang bulu dalam memilih strategi ruang dan waktu.
Apapun dan kapanpun bisa dimanfaatkan yang penting keinginan untuk “mewakili”
dan berkuasa bisa diraih. Ia tidak peduli bahwa sesuatu yang ia kerjakan mengganggu
orang lain, bahkan membuat pekerjaannya menjadi sia-sia belaka. Mereka memanfatkan bencana dan kesusahan
banyak orang, mereka memanfaatkan kekhusyu’an orang, mereka memanfaatkan
keharusan orang untuk mendengar kapan harus berbuka untuk keinginan politiknya.
Diskusi di media sosial tersebut adalah gambaran nyata bahwa para
“badut Ramadhan” sudah tak bisa melucu. Mereka tak bisa sok simpatik terhadap
masyarakat miskin dan terkena bencana. Tak bisa sok berwibawa dan gagah-gagahan
sambil pasang senyuman paling manis agar banyak mendapatkan suara pada saat
pemilihan. Suara rakyat tidak bisa diraih dengan instan, namun harus membangun
modal sosial sejak awal. Kalau tiba-tiba anda datang dan minta dipilih lalu
anda bagi-bagi sembako, bagi-bagi uang, bagi-bagi peralatan ibadah, agaknya
sudah tidak mempan. Masyarakat bilang “ambil sumbangannya, jangan pilih
orangnya, nanti ia pakai jabatannya untuk bayar hutang”.
Soal keikhlasan memberi, kekhusyu’an beribadah, atau niat yang
tersembunyi di bilik hati terdalam, memang hanya Allah yang bisa menilai. Namun
manusia bisa menilai apa yang ia lihat. Sebaiknya para badut berhenti saja
melucu, nanti saja habis Ramadhan agar tidak ada yang merasa terganggu. Beribadah
saja dengan khsuyu’ dalam naungan suci Ramadhan, semoga Tuhan mengampuni
dosa-dosa kita dan bisa lahir kembali seperti seorang bayi saat Iedul Fitri
tiba. Wallahuallam.
** Peminat masalah sosial
Email: yr_sakti@yahoo.co.id
Tidak ada komentar:
Posting Komentar