Kamis, 01 Agustus 2013

“Badut” Rhamadhan

Ramadhan itu ibarat sebuah sungai  jernih, besar dan panjang, tempat para musfir yang kelelahan  mengambil dan meneguk air jernih, lalu dahaganya hilang seketika. Sungai  Ramadhan tempat musyafir  memandikan jasadnya dari gumpal-gumpal kotoran dan debu, dalam 11 bulan perjalanannya. Ramadhan menjadi bulan penyeimbang kehidupan manusia. Sel-sel darah, usus, tulang-tulang, lambung, serta organ tubuh lainnya beristirahat setelah berbulan-bulan aktif bergerak dan bereproduksi. Ramadhan melatih jiwa yang liar, menjadi sabar dan tenang. Melatih hati yang pemarah keras dan beku menjadi lembut, hangat, kaya dan penuh empati. Rasa lapar yang mendera tubuh, merangsang  emosi  jiwa terlebur dalam damai yang  indah. Setelah Ramadhan manusia bakal mendapatkan kesucian jiwa dan energy baru, guna melanjutkan perjalanan  hingga tiba kembali di Ramadhan berikutnya. Ramadhan ritual tahunan pengobat dahaga spiritual bumi yang kian mengkhawatirkan. Setelah ritual puasa terjadi, badan kembali sehat, hati kembali terupgrade.
Sayang sekali, jauh hari sebelum hilal Ramadhan bertengger di jendela cakrawala, kita telah diganggu oleh kreatifitas dan inovasi kapitalisme dengan amat  benderang dari layar televisi, media online,koran, spanduk, baliho, jejaring sosial, dan berbagai media promosi. Atraksi kapitalisme mencipta karya yang mengesankan sekaligus mengenaskan. Mengenaskan karena karya seni kapitalisme itu telah mengotori ruang paling suci dan bertolak seratus delapanpuluh derajat. Areal suci religi dihadapkan dengan pemuasan hasrat hedon tanpa jeda dan tanpa batas. Lalu saat Ramadhan tiba  kekhusyu’an Ramadhan dikotori oleh badut-badut yang menampilkan ketidak lucuan.  Badut-badut menampar seluruh sudut sakral ramadhan dan kita tak bisa menghindar. Ia datang saat menjelang imsak, hingga imsak tiba lagi. Seluruh segmen ibadah dijual, dieksploitasi, dijadikan mesin uang, dijadikan jualan politik. Murah sekali. Mereka menjual waktu berbuka, menjual saat makan sahur, menjual khusyuk tarawih dan tadarus. Mereka menciptakan semacam godaan yang bisa memancing kita yang berpuasa untuk marah, kesal, bergunjing dan bermacam prilaku kasar yang bisa membuat puasa menjadi batal. Para badut menjadi setan-setan baru yang memoles wajahnya dengan aplikasi photosop agar lebih santun, klimis, dan berwibawa. Para badut mengatur suara mengucapkan selamat dan mendoakan mereka yang berpuasa agar diterima amal ibadahnya. Badut-badut itu adalah para politisi, para kyai yang menjadi ikon produk kaum kapitalis.
Dalam sebuah forum diskusi di Facebook, seseorang  membuat status  marah terhadap orang-orang yang “mencari muka” menjelang  adzan magrib dikumandangkan. Kelakuan para badut menjelang berbuka ini ternyata meresahkan banyak orang. Mereka merasa terganggu kekhusyu’annya. Ada yang mengatakan bahwa mereka harus ditindak oleh Majelis Ulama, ada pula yang mengusulkan agar Komisi Penyiaran  membuat aturan yang membatasi orang-orang yang mencari muka di tengah orang – orang yang mencari Tuhan itu.  Para badut yang “bernafsu” meraih kekuasaan ini memang tidak pandang bulu dalam memilih strategi ruang dan waktu. Apapun dan kapanpun bisa dimanfaatkan yang penting keinginan untuk “mewakili” dan berkuasa bisa diraih. Ia tidak peduli bahwa sesuatu yang ia kerjakan mengganggu orang lain, bahkan membuat pekerjaannya menjadi sia-sia belaka.  Mereka memanfatkan bencana dan kesusahan banyak orang, mereka memanfaatkan kekhusyu’an orang, mereka memanfaatkan keharusan orang untuk mendengar kapan harus berbuka untuk keinginan politiknya.
Diskusi di media sosial tersebut adalah gambaran nyata bahwa para “badut Ramadhan” sudah tak bisa melucu. Mereka tak bisa sok simpatik terhadap masyarakat miskin dan terkena bencana. Tak bisa sok berwibawa dan gagah-gagahan sambil pasang senyuman paling manis agar banyak mendapatkan suara pada saat pemilihan. Suara rakyat tidak bisa diraih dengan instan, namun harus membangun modal sosial sejak awal. Kalau tiba-tiba anda datang dan minta dipilih lalu anda bagi-bagi sembako, bagi-bagi uang, bagi-bagi peralatan ibadah, agaknya sudah tidak mempan. Masyarakat bilang “ambil sumbangannya, jangan pilih orangnya, nanti ia pakai jabatannya untuk bayar hutang”.
Soal keikhlasan memberi, kekhusyu’an beribadah, atau niat yang tersembunyi di bilik hati terdalam, memang hanya Allah yang bisa menilai. Namun manusia bisa menilai apa yang ia lihat. Sebaiknya para badut berhenti saja melucu, nanti saja habis Ramadhan agar tidak ada yang merasa terganggu. Beribadah saja dengan khsuyu’ dalam naungan suci Ramadhan, semoga Tuhan mengampuni dosa-dosa kita dan bisa lahir kembali seperti seorang bayi saat Iedul Fitri tiba.  Wallahuallam.

** Peminat masalah sosial
     Email: yr_sakti@yahoo.co.id



Tidak ada komentar:

Posting Komentar