Kamis, 14 Maret 2013

Catatan Kritis PP Tembakau

Muhammad Zainul Majdi Gubernur NTB, bukan perokok 
TIDAK ada komodi tas pertanian yang memicu banyak perde batan dan kontroversi selain komoditas tembakau. Di satu sisi, komoditas itu diakui pemerintah sebagai komoditas strategis dan berperan besar bagi penerimaan devisa negara. Di sisi lain, muncul beragam aturan yang terkesan ingin membatasi produksi tembakau dalam negeri.
Secara on farm dan off farm, penyerapan tenaga kerja di sektor ini tergolong padat karya.
Tembakau dirasakan memiliki multiplier effect ekonomi dari hulu hingga hilir. Namun, sampai saat ini, para pelaku ekonomi di sektor tembakau dinilai sebagai pelaku usaha yang tidak diharapkan karena menyebar zat adiktif `haram'.
Karena itu, arah kebijakan pertembakauan di Indonesia selalu serbaabu-abu dan menjadi pertarungan skala prioritas antara penerimaan negara, tenaga kerja, dan juga kesehatan. Belum pernah ada satu kebijakan tembakau yang mampu memadukan ketiga pri oritas itu, apalagi setiap sektor terkesan berjalan berdasarkan logikanya sendiri.
Kurang integratif Contoh kebijakan semacam itu ialah Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 109 Tahun 2012 tentang Pengamanan Bahan yang Mengandung Zat Adiktif Berupa Produk Tembakau bagi Kesehatan yang terbit pada 24 Desember 2012. Kebijakan itu jelas menonjolkan aspek kesehatan dalam produk tembakau dan kurang memikirkan dua aspek lainnya.
Dalam paparan yang disampaikan pada pertemuan Koordinasi Program Intensifikasi Tembakau Virginia Lombok di Mataram, 21 Februari lalu, Direktur Tanaman Semusim Kementerian Pertanian (Kementan) Nurnowo Paridjo menegaskan, PP ini tidak melarang penanaman tembakau, produksi rokok, penjualan rokok, ataupun tindakan merokok itu sendiri.
Akan tetapi, dalam bagian penjelasan PP jelas disebutkan, dasar pembuatan PP itu merupakan pandangan bahwa produk tembakau berbentuk rokok menjadi masalah karena r berdampak negatif bagi keseb hatan. Bukan cuma perokok aktif, melainkan juga berbahaya bagi perokok pasif.
Dengan penjelasan itu, sulit bagi Kementan untuk meyakinkan kalangan petani tembakau agar merasa aman dari dampak pemberlakuan PP Tembakau. Kesan kebijakan dalam PP itu kurang integratif menampung aspirasi di internal kabinet yang makin mengemuka karena Kementan mengakui peran strategis komoditas tembakau dan rokok.
Kementan mengakui penerimaan cukai rokok pada 2011 Rp66,1 triliun dengan target 2012 Rp73 triliun. Jumlah itu sangat jauh dari penerimaan negara untuk seluruh sektor tambang 2010 yang hanya mencapai Rp7,1 triliun. Itu belum ditambah penerimaan devisa negara lewat ekspor rokok dan tembakau yang nilainya mencapai US$595,61 juta.
Dari sisi penyerapan tenaga kerja, komoditas tembakau dan rokok juga luar biasa, mencapai 6,1 juta orang. Mereka bukan hanya para petani tembakau dan cengkih, melainkan juga para pemilik warung dan insan periklanan. Komoditas itu juga menggerakkan sektor olahraga, kesenian, dan rekreasi, bahkan fasilitas keagamaan.
Bisa dibayangkan betapa komoditas tembakau dan rokok tidak saja menjadi urusan Kementerian Kesehatan, tetapi juga kepentingan beragam ke menterian, seperti Kementan, Kementerian Tenaga Kerja, Kementerian Perdagangan, dan Kementerian Keuangan.
Salah waktu Dari sisi pemberlakuan, PP itu juga terbit dalam situasi yang belum sepenuhnya kondusif dan sebenarnya kurang sesuai dengan tahapan skala prioritas dalam roadmap Industri Hasil Tembakau (IHT) yang disusun Kementan. Dalam roadmap, dinyatakan, prioritas IHT pada 2010-2014 adalah penerimaan negara. Baru pada 2015-2020 prioritas kemudian bergeser ke sektor kesehatan.
Maraknya protes dan demo yang mengkritik PP Tembakau itu juga muncul karena PP tersebut muncul di tengah masih tingginya impor tembakau Indonesia. Menurut data Asosiasi Petani Tembakau Indonesia (APTI), impor tembakau cenderung naik dari tahun ke tahun, mulai 23 ribu ton pada 2003 menjadi 100 ribu ton pada 2012. Padahal, produksi tembakau lokal pada 2012 naik 9,68% menjadi 170 ribu ton.
Secara psikologis, wajar jika ada anggapan di sebagian kalangan, sejumlah aturan dalam PP itu merugikan produsen tembakau lokal dan menguntungkan importir. Misalnya, Pasal 10 dan 11 PP itu menetapkan standar kadar nikotin dan tar pada produk tembakau yang menurut sebagian kalangan dinilai akan memenangi tembakau impor.
Kebijakan lain yang dipertanyakan adalah kebijakan diversifikasi produk tembakau selain rokok, seperti diatur dalam Pasal 7 ayat 2 PP. Dalam bagian penjelasan pasal itu disebutkan, diversifikasi produk tembakau diarahkan menjadi bahan kimia dasar yang bisa digunakan untuk memproduksi pestisida, obat bius, kosmetik, dan farmasi.
Akan tetapi, dalam pernyataan publiknya, meski menga kui PP Tembakautidak melarang petani untuk menanam tembakau, Menteri Pertanian mengusulkan agar para petani tembakau mengganti komoditas tanam mereka menjadi nontembakau. Alasannya sebenarnya rasional, yaitu mengantisipasi PP Tembakau dan tren penurunan konsumsi tembakau.
Namun, imbauan diversifikasi dengan alasan penurunan konsumsi tembakau tidak efektif jika impor tembakau tetap tinggi. Selain itu, secara sosiokultural, menanam tembakau bagi sebagian petani kita sudah menjadi semacam tradisi turun-temurun. Masa tanam yang singkat dan dampak jelasnya pada kesejahteraan rakyat membuat diversifikasi sulit dilakukan.
Solusi komprehensif Kalaupun pemerintah ingin agar dilakukan diversifikasi produk tembakau ke produk nonrokok, hal itu masih juga menghadapi sejumlah kendala.
Misalnya, produk nonrokok seperti apa? Lantas, ke mana para petani tembakau menyalurkan tembakau mereka untuk produk nonrokok itu? PP 109 Tahun 2012 sebenarnya memiliki idealisme yang baik. Catatan-catatan ini pun dibuat agar pengemban aturan seperti pemerintah daerah bisa menjalankan tugasnya tanpa harus bertabrakan dengan rakyat. Untuk mewujudkan hal itu, saya kira perlu sebuah kebijakan yang tidak semata bersifat imperatif, tetapi juga mengandung solusi alternatif.
Untuk itu, masalah komoditas tembakau harus dilihat secara lebih komprehensif dan lintas sektoral. Hal itu diharapkan berjalan simultan dengan upaya Kemendag menggenjot ekspor produk tembakau unggulan Indonesia ke pasar internasional.
Saya bukan perokok. Catatan kritis atas PP Tembakau ini saya sampaikan lebih dimotivasi karena tembakau virginia merupakan sumber pendapatan 8.000 petani di NTB. Komoditas itu juga telah menyerap 124.313 pekerja di setiap musim tanam tembakau yang terdiri atas 35.000 orang adalah wanita.
Dalam setiap lima bulan musim tanam tembakau, peredaran uang mencapai Rp600 miliar-Rp800 miliar. Karena berbagai pertimbangan itulah, beredar pemeo di kalangan petani tembakau yang oleh suku Sasak disebut mako. Anda boleh membenci rokok, tetapi jangan pernah sekalipun membenci mako. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar