Sudah cukup lama kita menanggung malu menyandang gelar sebagai daerah tertinggal dengan peringkat papan bawah. Saking lamanya, kita sampai kehilangan rasa malu itu. Tidak menganggapnya sebagai sesuatu yang penting untuk disikapi. Kalaupun ada gerakan yang dirancang untuk kita bersegera melawan keterpurukan, lebih banyak dari kita cenderung apatis dan tidak mau tahu. Susah sekali untuk bergerak maju sedikit saja dari posisi saat ini. Ada yang bilang, kita ini korban rumus statistik. Ketertinggalan yang menjadi ironi bagi sebuah daerah yang kaya akan potensi. Keindahan alam, kekayaan budaya, dan berlimpahnya hasil bumi ternyata tak mampu mendorong daerah ini untuk bisa sejajar paling tidak Banyaklah olok-olok satire yang ditimpakan kewajah daerah ini oleh warganya sendiri. Ada yang mengatakan bahwa ini memang kutukan, ada yang kemudian mengistilahkan NTB sebagai Nasib Tidak Bersaing atau Nasib Tidak Berubah, dan sebagainya. Sebagai warga NTB, saya tidak ingin memperolok ketidak berdayaan itu dan membuat semangat kita semakin terpuruk lalu sulit untuk berubah. Bagi saya lebih penting untuk berfikir bagaimana kita bisa bangkit mengejar ketertinggalan itu. Kata “mengejar”, berasal dari kata kerja “kejar” yang menunjuk kepada sebuah tindakan cepat, tanggap dan progresif. Aktifitas mengejar membutuhkan energi dan dan fokus, agar apa yang dikejar bisa didapat. Ibarat berada di lintasan sirkuit, dimana seluruh daerah berpacu menggapai kemajuan, kita memang harus segera “tancap gas” dan ngebut sekencang-kencangnya. Ya, ngebut. Suka tidak suka, hanya itulah satu-satunya cara mengejar. Tak ada pilihan lain. Jika tidak, maka terimalah dengan ikhlas resiko menjadi NTB yang biasa-biasa saja. Menjadi NTB yang tidak terlalu dikenal, tidak terlalu diperhitungkan, dan tidak disegani karena memang berada di papan bawah. Oke, jidak tak mau menerima resiko ? artinya setuju bahwa kita harus tancap gas dan segera kebut-kebutan, menyalip daerah lain agar kita bisa lebih diperhitungkan. Pertanyaanya siapkah kita “tancap gas” dan ngebut ? Apakah kita punya nyali untuk menyalip daerah lain yang memiliki “kendaraan” yang tentu lebih mulus dan ajeg ?.
Ngebut dan menyalip kompetitor bukan hal gampang. Kita membutuhkan seorang sopir yang terampil, menguasai medan , penuh konsentrasi dan tidak dalam keadaan mabuk. Bukan sopir yang ugal-ugalan. Salah-salah kita justru bisa menyeruduk sapi-sapi yang akan pulang kandang, menabrak tumpukan rumput laut yang siap di jual, atau terpelanting di ladang jagung milik petani kita. Dan yang jadi korban adalah para penumpang kendaraan bernama NTB. Urusan ngebut dilintasan licin kita perlu mencontoh Sebastian Vettel, juara dunia F1 2010-2011. Jawara ini dengan tangkas mampu mengantipasi berbagai kemungkinan yang terjadi di lintasan mulus dan licin di atas tarikan mesin sepersekian detik. Satu hal penting yang mesti kita ingat jika harus ikut kebut-kebutan dengan daerah lain, bahwa para kompetitor itu juga terus memacu kendaraannya. Tidak serta merta setelah kita tancap gas, lalu dengan gampang bisa menyalipnya.
Butuh semacam “kegilaan” untuk bisa menyalip daerah lain. Kegilaan yang membuat daerah bisa melesat dengan kecepatan di atas rata-rata. Itu hanya bisa dilakukan jika sumberdaya kita memiliki cadangan kekuatan dalam bentuk inovasi-novasi cerdas dan berdaya jual. Energi cadangan yang membuat kita berpeluang mengungguli daerah lain dan kita menjadi pemenang dalam setiap kompetisi. Inovasi adalah energi yang memiliki daya salip yang kuat. Inovasi membuat kita berpeluang memenangkan pertandingan. Dalam doa dan semangat yang tetap terjaga, kita harus berfikir lebih “liar”, berupaya menemukan invovasi itu. Dan memang, seringkali mereka yang memiliki inovasi dijuluki orang gila karena dianggap tidak masuk akal. Namun jika telah berhasil banyak dari mereka justru mendapat puji dan sanjungan. Masih ingat Hamzah ? penemu Emiter. Sebuah alat pensuplai air bagi tumbuhan yang ditanam di lahan kering. Awalnya Hamzah dianggap gila karena menanam pohon justru bukan pada musim hujan, dengan alasan pada musim hujan tanaman yang belum kuat akan cepat busuk karena kelebihan air. Ide Hamzah yang menafaatkan botol-botol bekas air mineral, pada akhirnya sukses dan membuat orang kagum. Tidak hanya itu, menjamurnya pesanan alat sederhana namun kaya manfaat ini, membuatnya harus mengumpulkan para pengangguran untuk bekeraja merakit Emiter. Emiter membuat Hamzah harus berpresentasi lintas daerah bahkan lintas negara. Selain Hamzah ada Tyas, anak muda asal Aik Mel penemu sepatu yang bisa menjadi chargerhandphone, temuan itu membawanya ke Cina dan Amerika. Ada Lalu Selamat Martadinata penemu alat pemanggil ikan dan banyak lagi orang pintar daerah ini yang bagi saya memiliki ide brillian.
Salah satu cara merealisasikan niat untuk tancap gas dan ngebut mengejar ketertinggalan adalah dengan melahirkan gagasan “liar” dan inovatif. Karenanya jiwa inovatif perlu kita “ternakkan” di daerah ini. Lomba-lomba yang mendorong munculnya para inovator bidang pemerintahan, desain kebijakan, penanganan kemiskinan, penciptaan lapangan kerja, peningkatan derajat kesehatan masyarakat dan lainnya menjadi penting untuk diadakan. Mungkin nantinya kita bisa menyaksikan lahirnya seorang penemu, yang bisa membuat semacam alat atau gagasan cerdas, yang bisa menurunkan angka kemiskian lebih cepat dari sebelumnya, alat yang mampu menolkan angka kematian ibu dan bayi tanpa butuh biaya, alat yang mampu mengundang para wisatawan sejuta, dua juta bahkan puluhan juta mengalahkan Bali, Jogjakarta, atau Raja Ampat. Dan daerah kita bisa lebih terkenal dari Gorontalo, atau Solo yang inovatif. Dengan enteng kita bisa menyalip.Bismillah
Tidak ada komentar:
Posting Komentar