Fasilitas Pendidikan Yang Menjadi “ Racun ”.
Muhammad Shafwan
Hal yang tak pernah kulupakan adalah bahwa pagi
itu
aku menyaksikan seorang anak pesisir melarat,
teman sebangku
untuk
pertama kalinya memegang pensil dan buku,
dan kemudian pada tahun-tahun berikutnya, setiapa
apa pun yang ditulisnya merupakan buah fikiran yang gilang gemilang, karena
nanti ia, seorang anak miskin pesisir,akan menerangi nebula yang melingkupi
sekolah miskin ini, sebab ia akan berkembang menjadi manusia paling genius yang
pernah kujumpai seumur hidupku.
( Andrea Hirata-Novel Laskar
Pelangi )
Membaca Novel Laskar Pelangi, tulisan Andrea
Hirata, saya amat tersentuh. Meski berkali-kali membacanya, novel laris itu
selalu segar dan mendorong keinginan agar kembali dan kembali membacanya. Salah
satu tokoh yang amat menyentuh nurani saya adalah Lintang. Anak pesisir yang
miskin tapi cerdas. Saya tersentuh dan merinding dengan keperkasaan tokoh itu.
Meski Lintang anak nelayan miskin yang
hidup serba prihatin. Kondisi itu tak menyirnakan cita dan semangat belajarnya.
Berangkat sekolah sejak Subuh, mengayuh sepeda degan jarak puluhan kilometer.
Dengan medan yang berat dan berbahaya. Dan Lintang menunjukkan kegeniusannya
dengan “ menerangi nebula yang melingkupi sekolah miskin” .
Kegeniusan Lintang mengingatkan saya pada
pertemuan beberapa tahun lalu dengan siswa cerdas asal KLU. Waktu itu saya
sering melakukan “pengembaraan” meyusuri tempat - tempat terpencil, untuk
berdialog dengan masyarakat bersama kawan-kawan sebuah LSM pendidikan di Kota
Mataram. Sebut saja namanya Sabri, ia tinggal jauh dari Kota Mataram. Tepatnya
di sekitar Santong Lombok Utara. Waktu itu Sabri masih bersekolah di SLTA. Ia
tergolong siswa yang tidak mampu, dengan asupan gizi yang rendah. Sabri hanya
makan dua kali dalam sehari. Sebelum berangkat sekolah, ia biasanya hanya
sarapan kelapa bakar, lalu memulai perjalanan kurang lebih tiga kilometer
menuju sekolah, tempat ia belajar. Ia tergolong siswa yang gigih dan pantang
menyerah. Karena itulah, meski dalam kondisi serba terbatas, prestasinya di
sekolah selalu membanggakan. Sabri termasuk diantara sedikit siswa cerdas di
tempat ia belajar. Sabri juara umum di kelasnya. Bagi saya, secara kinestetik
Sabri tergolong cerdas karena setiap hari harus menempuh perjalanan jauh dengan
berjalan kaki. Seperti juga para murid lainya, kadang perjalanan dilakukan
dengan bertelanjang kaki. Sepatu yang mereka kenakan lebih sering di tenteng,
atau di kalungkan di leher. Mereka merasa kasihan terhadap sepatu yang harus
rusak karena medan yang ditempuh begitu berat. Melewati jalan menanjak, turun,
menyeberangi sungai, serta jalanan penuh bebatuan. Biasanya sepatu tak akan
berumur panjang jika terus dipakai di medan seberat itu. Sabri hanyalah salah satu
diantara sekian banyak mereka yang hidup sederhana dan bersahaja di daerah
terpencil. Kondisi yang prihatin, seakan tempat tinggal mereka tak terjamah oleh pembangunan infrastuktur
transportasi daerah ini. Meski dini, saya jadi menyimpulkan bahwa kesederhanan,
kemiskinan, keterbatasan fasilitas, bahkan kekurangan gizi sekalipun tak akan
mampu mengubah cita dan semangat untuk terus berprestasi. Justru sebaliknya.
Kemiskinan menjadi jamu yang menyehatkan jiwa. Mari membanding kesederhanaan
Sabri dengan anak salah seorang tetangga saya. Sebut saja namanya Khairuddin.
Sebagai seorang anak, ia tergolong sangat beruntung. Segala keinginannya dengan
mudah bisa dikabulkan orang tuanya yang pengusaha barang-barang bekas. Mulai
dari sebuah sepeda motor yang harganya di atas duapuluhan juta, laptop dengan
modem internet, serta fasiltas penunjang pendidikan lainya ia telah miliki.
Sore hari ia biasaya minta sangu kembali kepada orang tuanya untuk mengikuti
kursus-kursus dan les privat seperti siswa lainya. Intinya, Khairudin telah
mendapatkan kemudahan fasilitas belajar secara formal maupun non formal.
Tentulah orang tuanya berharap, agar dengan memberikan fasilitas pendidikan
yang layak, nantinya sang anak akan menjadi anak yang berprestasi. Namun saat pengumuman kenaikan kelas tiba.
Khairuddin terkejut. Namanya tidak termasuk di antara siswa yang harus
mendaftar ulang di tingkat yang lebih tinggi. Ia tertinggal kelas. Kecewalah
kedua orang tuanya. Jerih payah bekerja untuk memberi fasilitas pendidikan yang
layak bagi anaknya berujung kegagalan. Amat menyedihkan. Rupanya. Fasilitas
pendidikan yang serba memudahkan, bukannya menjadi pemacu meraih prestasi bagi
Khairuddin, namun justru menjadi racun yang melemahkan kemampuan dan kemauan
belajarnya. Motor yang bagus, mungkin hanya menjadi fasilitas mengikuti tren
anak muda gaul. Laptop dengan fasilitas canggih, mungkin saja menjadi sarana
bermain game online dan berselancar di dunia maya. Tempat Bimbingan belajar,
mungkin saja menjadi tempat bertemu dan bergaul dengan komunitasnya, dalam
warna yang kurang positif. Hingga pada akhirnya , Kairuddin mendapatkan hasil
yang memuramkan orang tua.
Jika merenungi dua sisi nasib anak manuisa itu,
antara yang miskin dan kaya, kalau diajak memilih, pastilah kita memilih yang
lebih kaya. Namun jika memilih mendapatkan anak yang berhasil dan gagal, sudah
pasti kita akan memilih mendapatkan anak yang berhasil dan berprestasi. Kisah
Lintang dalam Novel Laskar Pelangi, atau cerita
Sabri dari Lombok Utara, adalah dua kisah mirip dimana sang anak
merasakan kemiskinan sebagai cambuk meraih prestasi. Sedangkan Cerita kegagalan
anak tetangga saya, agaknya membuat kita harus berfikir ulang soal bagaimana
mengumbar fasilitas berlebihan kepada anak tidak menjadi mudharat. Agar
benar-benar bermanfaat. Itu dalam lingkup keluarga. Dalam skala yang lebih
luas, saya merasakan orang lebih percaya pada pemberian materi dan fasilitas
mewahlah yang menjadi tumpuan utama meningkatkan kualitas hasil didik.lihat
saja bagaimana para kepala dan dewan guru, para pengurus komite, dan perencana
kebijakan pendidikan mendorong perlombaan membangun fisik. Membangun fasilitas
serba mentereng. Dan setelahnya
persoalan pendidikan pun dianggap selesai. Tentu tidak begitu. Lihat saja
sekarang. Banyak sekolah mentereng justru menjadi sekolah tempat pamer status
sosial. Anak-anak sekolahnya pun konon ikut - ikutan menjadi pajangan para wali
murid. Di luar sekolah parade mobil – mobil mewah, sementara di dalam sana
anak-anak merasa malu jika tak menenteng handphone jenis dan merek terbaru.
Menyedihkan.
Rasanya,
kita harus lebih awal menyadari bahwa fasilitas berlimpah, serba lengkap dan
wah, bukan hal yang secara hierarki mesti di nomor satukan. Ia hanyalah penopang dari kebutuhan pendidikan
yang tidak berdiri sendiri. Anggapan bahwa fasilitas adalah hal utama menjadi
terbantahkan jika melihat bagaimana mereka yang kurang beruntung dari sisi
ekonomi, justru bisa survive dan berprestasi. Pendidikan yang mulia itu, juga
ditopang oleh hal lain seperti kasih sayang orang tua yang perlu diterjemahkan dalam bentuk yang sesungguhnya.
Bukan dengan uang.
Tulisan ini pernah dimuat di Radar Lombok
Tulisan ini pernah dimuat di Radar Lombok