Oleh : Muhammad Shafwan*
Coba cermati data berikut ini. Menurut Data Sensus Penduduk 2010 - Badan Pusat Statistik Republik Indonesia, 41.23% penduduk NTB menggunakan jamban sendiri, 12.26% menggunakan jamban bersama, 2.20% menggunakan jamban umum, dan sisanya 44.30% tidak memiliki jamban. Artinya, hampir setengah keluarga NTB buang hajat sembarangan, karena belum memiliki tempat buang hajat yang memadai. Alternatif buang hajat mereka bisa saja di kebun, di pinggir pantai, atau di kali. Kondisi ini membuat kita sulit membayangkan terbangunya budaya hidup sehat, terutama bagi rakyat kecil, sementara kebutuhan paling mendasar itu belum terpenuhi. Padahal kebutuhan buang hajat, sama pentingnya dengan kebuthan makan dan minum. Mungkin makan dan minum bisa dilakukan di mana saja. Asal tidak merasa jijik dan jorok, di tempat kotor sekalipun kita bisa makan dengan lahap. Tapi untuk “urusan privat” itu tentu kita harus pilih-pilih tempat, tidak bisa kebutuhan dasar tersebut dilakukan di tempat terbuka. Namun itulah kenyataan yang terjadi di tengah-tengah kita. Ratusan ribu penduduk kita, belum memiliki dan menggunakan fasilitas sanitasi yang layak. Akibat paling nyata dari kondisi tersebut, kini Diare (Diarrhea) menjadi penyakit di urutan ke tiga, dari sepuluh penyakit menonjol pada Puskesmas NTB, dengan 117 ribu kasus di tahun 2008 dan 84 ribuan kasus di tahun 2009. Belum termasuk penyakit lain, yang disebabkan oleh kebiasaan buang air sembarangan masyarakat kita.
Kondisi dan prilaku jorok, tidak hanya terjadi pada masyarakat ekonomi lemah dan tingkat pendidikan rendah. Masyarakat terdidik pun ternyata memiliki kesadaran yang rendah. Menyikapi masih sangat rendahnya kesadaran tersebut, seorang kepala dinas pendidikan dan kebudayaan NTB di zaman orde baru sempat membuat semacam aturan untuk para stafnya. Aturan tersebut mewajibkan setiap yang masuk WC menyiram bekas kencingnya lima kali siraman. Saya punya dua pengalaman buruk berurusan dengan sistim sanitasi, di gedung-gedung milik pemerintah. Pengalam pertama terjadi di gedung kampus FKIP UNRAM. Suatu hari saya terjebak di salah satu toilet kampus itu. Pintunya tiba-tiba terkunci dengan sendirinya. Karena hari sudah agak sore, rupanya orang-orang yang beraktifitas di kampus tersebut sudah pulang. Akhirnya dengan segala daya dan upaya, saya pun berusaha memanjat dinding toilet, yang secara kebetulan hanya dipisah oleh sekat kira-kira setinggi dua setengah meter. Alhamdulillah, saya bisa melompati dinding itu dengan selamat, meski terengah-engah. Bayangkan jika kejadian itu menimpa mahasiswi, atau mahasiswa yang bertubuh agak pendek, maka dia harus menunggu sampai besok pagi agar bisa keluar dari dalam toilet. Resikonya tentu harus tidur di toilet kampus. Pengalaman buruk berikutnya saya alami di kampus IAIN ( Institut Agama Islam Negeri ) Mataram. Suatu hari perut saya mules. Tanpa banyak berfikir, saya langsung menuju toilet kampus. Beruntung kampus besar tersebut menyediakan banyak toilet. Saat hajat telah tuntas, saya tengok kanan kiri, ternyata tidak ada gayung. Tidak mungkin bagi saya untuk keluar mencari. Di tengah kebingungan, akhirnya saya terfikir memanfaatkan map plastik yang tersimpan di dalam tas ransel. Dengan map tersebutlah kemudian saya membersihkan toilet tersebut. Mungkin cerita ini sedikit jorok, tapi saya ingin menceritakan bagaimana sebuah lembaga pendidikan terbesar saja menyediakan dan memelihara fasilitas sanitasinya. Masih banyak lagi cerita “seram” yang di kantor-kantor pemerintah lainya. Ada yang toiletnya terpaksa di tutup karena kelewat “mengerikan”, ada yang toilet nya tergenang air kotoran, ada yang baunya menyebar kemana-mana jika di buka, dan yang paling jorok bagi saya adalah toilet yang di toiletnya mengambang pembalut wanita. Sekolah-sekolah kita juga tidak menyedikan fasilitas toilet yang cukup jika dibanding jumlah siswanya, terutama sekolah suasta. Terakhir kita mendengar bagai mana joroknya fasilitas toilet Bandara International Lombok. Seorang teman berseloroh, kalau mau cari tolilet di tempat umum itu gampang, tinggal cari dari mana bau pesing berasal, maka disitulah fasilitasnya berada. Kecuali toilet “pascabayar” di tempat umum yang buang hajatnya di tunggui sampai kita selesai, kondisinya lebih bersih karena dikelola sang penjaga.
Ada beberapa faktor yang menyebabkan masyarakat kita tidak menggunakan jamban. Pertamakarena faktor finansial, masyarakat jenis ini kesulitan membuat jamban karena tidak ada dana untuk membangunnya. Jangankan untuk membuat jamban, makan sehari-hari saja tidak cukup. Keduakarena faktor lokasi. Masyarakat yang tinggal di pemukiman padat penduduk, bukan tak punya uang untuk membangun jamban, namun mereka tidak punya tempat membangun saran tersebut. Ketigakarena faktor tradisi, masyarakat jenis ini menganggap jamban sebagai budaya baru bagi mereka. Secara turun temurun mereka selalu menggunakanpantai, kebun, atau aliran sungai untuk buang hajat.Sulit bagi kelompok masyarakat ini untuk mengubah prilakunya. Dibuatka jamban pun mereka tidak gunakan. Keempat faktor prioritas. Beberapa masyarakat kita masih menanggap jamban, bukanlah skala prioritas bagi kehidupannya. Mereka bisa mebangun rumah besar dan bagus tapi tidak membangun jambannya.
Langkah yang bisa ditempuh tentu harus mengacu pada faktor penyebab, serta menumbuhkan kembali kearifan lokal. Kegotong-royongan yang pernah tumbuh di masa lampau sangat besar energinya. Kearifan dan kebersamaan seperti itu bisa menjadi potensi perubahan, tidak hanya terpaku pada harapan bantuan dari pemerintah. Langkah selanjutnya adalah mendorong peran ORMAS dan LSM agar ikut terlibat dalam fokus ini. Ada pengalaman menarik yang bisa diambil dari ormas Nahdlatul Wathan, dimana pada masa hidupnya Al-Maghfurlahu Syeikh Zainuddin organisasi ini turut berperan melakukan jambanisasi bagi warga yang belum punya jamban, dan semenisasi bagi rumah warga yang masih menggunakan tanah. Hal –hal seperti ini harus dihidupkan kembali. Langkah selanjutnya adalah mendorong pemerintah untuk kembali fokus pada kebutuhan dasar ini. Zaman orde baru program ini sering kita dengar, kini program itu mesti dilanjutkan. Tidak semua yang lahir dari zaman orde baru buruk. Jika selama ini tenaga Sanitarian jumlah rekrutnya sangat sedikit, maka kedepan saat rekrutmen pegawai baru, tenaga kesehatan lingkungan ini harus ditingkatkan jumlahnya. Tenaga sanitarian banyak berperan dalam mengubah prilaku masyarakat. Untuk ukuran kantor-kantor yang merupakan tempat publik dilayani seperti Pemprov, Pemkab, sekolah, atau universitas, Setda Kota Mataram bisa dicontoh, bagaimana kantor-kantor dilingkungan sekretariat daerah memelihara toiletnya. Tenaga cleaning servis dibayar untuk terus melakukan kontrol agar toilet selalu tetapkinclong dan nyaman dipergunakan. Ayo hidup bersih muai dari diri dan keluarga, lalu tularkan kebiasan itu disekeliling kita.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar