“Bercumbu” Dengan Teks
farid
Seperti naik sepeda, tidak ada teori baku tentang menulis. Hanya ada satu teori: mencoba dan mencoba. Tanpa tekad yang kuat, semahir apapun teori di tempurung kepala kita, tetap saja kita tidak akan pernah bisa menulis. Paling banter kita hanya jago berteori saja. Sebaliknya, bermodal tekad yang kuat, soal tehnis lainnya bukan perkara yang tidak mungkin untuk dipelajari.
Oke, kalau sudah punya tekad yang kuat, lalu apa selanjutnya? Ingat selalu, menulis bukan proses sekali jadi. Bermodal tekad yang kuat tadi, kita harus terus menggali potensi dan kepercayaan diri. Saya ingin mengatakan sesuatu yang paling mendasar yang harus kita camkan: jangan takut atau malu menulis walaupun hasilnya buruk! Anda jangan menduga saya bermain-main dengan ajakan ini. Praktikkan saja dulu, nanti pasti mujarab.
Setiap kali akan menulis apa saja, coba bebaskan pikiran dari rupa-rupa aturan ataupun metodologi yang rumit. Tulis saja dulu dengan cepat apa yang terlintas di hati, yang menggoda perasaan atau yang mengusik pikiran kita. Mengapa menulis buruk tidak perlu membuat kita malu? Setiap orang pasti ingin menulis yang baik. Itu lumrah. Tapi keinginan seperti ini bisa menjerat kita pada ketegangan yang tidak perlu. Sejak goresan pena pertama, kita seperti memikul beban untuk menulis secara sempurna.
Walhasil, kebanyakan dari kita yang sejak awal terpancing untuk menulis sempurna, malah tidak menulis apa-apa. Dua tiga kalimat ditulis, lalu diam termanggu dan menekan tombol backspace komputer untuk menghapus yang sudah di tulis. Begitu terus menghabiskan waktu dan menjengkelkan hati. Menulis yang buruk akan membuat kita mengalir. Bahkan titik koma pun kalau perlu dianggap tidak ada dulu. Tumpahkan saja semua yang tersumbal di benak.
Menulislah seperti lazimnya berbicara. Karena tulisan akan menjadi cerminan pribadi penulisnya. Kita tidak perlu tergoda menulis dengan bahasa orang lain. Menggelembungkan kata agar disangka cerdas, padahal itu membuat bingung pembaca (kecuali kalau kita seorang politisi yang doyan bikin bingung rakyat). Biasakan menulis dengan kata-kata sederhana, singkat dan padat. Kalau cara ini diterapkan secara kontinyu, jangan terkejut adik-adik bisa mengelaborasi banyak ilham, ide dan gagasan menjadi tulisan yang panjang.
Selanjutnya, setelah menulis tanpa rasa takut, belajarlah menulislah dengan cepat. Atau lebih tepatnya efesien. Caranya? Hindari kebiasaan menulis sembari mengedit. Menulis dan mengedit secara berbarengan membuat kita tidak fokus, pikiran terpecah dan kepala bisa jadi pusing sendiri. Buat apa menulis kalau malah kita jadi pusing? Menulis cepat ini penting, agar menanamkan keyakinan bahwa menulis itu bukan perkara sulit. Bahkan bisa jadi semacam rekreasi pikiran yang menyegarkan. Setelah bisa menulis cepat, barulah kita belajar mengedit yang efesien. Bagianmana dari tulisan kita yang mesti dipangkas, dipindahkan, dimundurkan atau bahkan sama sekali dicampakkan.
Bagaimana dengan mood, sikon atau kondisi? Banyak dari kita kerap berdalih: saya menulis tergantung mood? Ungkapan ini adalah kemewahan yang tidak perlu adik-adik pelihara. Perkara mood tergantung sepenuhnya di genggaman kita. Mood yang mengatur kita atau kita yang mengendalikan mood ? kalau pilihan terakhir yang adik-adik yakini, maka mood bukan lagi tembok penghadang. Di mana saja adik-adik berada, pasti bisa mengembangkan ilham menjadi ide dan gagasan dalam tulisan. Tidak peduli sarana cukup tersedia atau pas-pasan. Secarik kertas dan sepotong pensil karatan pun bisa menjadi sarana. Jangan jadikan mood sebagai dalih atau alasan untuk membatasi kreativitas menulis. Ingatlah, otak kita diciptakan Yang Kuasa secara unik. Melalui pilihan kata dan rangkaian kalimat yang kita sulam, otak kita bisa menghubung-hubungkan hal yang secara kasat mata tidak berkaitan.
Oke , sampai di sini anda sudah mendapat beberapa pokok penting untuk memulai menulis. Yakni, (1) Tidak ada teori baku dalam menulis, kecuali mencoba dan mencoba. (2). Jangan pernah malu atau takut menulis buruk. (3) Belajarlah menulis dengan cepat dan efesien. (4) Jangan Tergantung pada mood. Kita yang kendalikan mood.
Tentu masih banyak hal lain yang juga perlu anda ketahui, namun untuk sementara pokok-pokok di atas saya rasa cukup. Yang terpenting bukan sekadar untuk dingat dan dipahami, tetapi jauh lebih penting untuk dipraktekkan kini. Kalau anda bertanya, buat apa saya bisa menulis? Lagipula saya tidak punya cita-cita jadi penulis atau pengarang? Menjadi apa saja anda kelak –dokter, insiyur, atlet, perawat, tukang jahit, penyuluh pertanian, pengusaha katering, pemilik toko atau kios, bahkan artis atau ibu rumah tangga sekalipun, pasti akan bertemu, berbicara, berdebat dan membagi pengalaman dengan orang lain. Rasanya, tidak ada aspek dalam kehidupan di dunia ini yang lepas dari tulis-menulis dan membaca.
Bangsa yang tumbuh dan berkembang peradabannya adalah bangsa yang budaya tulis-menulisnya bersemai bak bunga yang mekar. Jadi, kalau anda mulai sekarang belajar menulis, bukan berarti kelak harus jadi wartawan atau pengarang. Tetapi jauh lebih mendasar dari itu: anda ikut menata batu bata peradaban bangsa Indonesia yang saat ini carut-marut keadaannya. Terlebih lagi, anda adalah sedikit dari 220 juta rakyat Indonesi yang beruntung mendapat berkah mengenyam pendidikan di perguruan tinggi.
Akhirnya, selamat menulis dan menjadi manusia merdeka!
Wassalam
Rujukan:
Arsewendo Atmowiloto, Mengarang itu Gampang (Jakarta: Gramedia, 1983)
A. S. Laksana, Creative Writing (Jakarta: Media Kita, 2006)